Ketika Menteri perindustrian Fahmi Idris saat itu mempublikasikan bahwa setiap PNS wajib menggunakan sepatu produk dalam negeri. Ada secercah harapan dari para produsen sepatu dalam negeri, bahwa produknya akan menjadi tuan rumah di negerinya sendiri, meski disertai pertanyaan saat itu,
Mengapa baru sekarang? Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali, barangkali masih menjadi pernyataan yang bijak untuk sesuatu yang terlambat dilakukan. Ada hikmah di setiap krisis yang terjadi. Ada solusi di setiap kesulitan.
Terlambat memang, tetapi selalu ada harapan jika kebijakan itu benar-benar dilaksanakan oleh siapapun, tidak sekedar memberikan harapan hampa, alias omdo, apalagi saat itu home industry sepatu sedang colaps dihantam kenaikan harga bahan baku dan krisis financial global.
Cintailah produk dalam negeri barangkali bukan lagi sebatas slogan yang hanya terdengar di saat krisis moneter, krisis financial atau krisis lainnya, jika masyarakat Indonesia memiliki kesadaran menggunakan produk dalam negeri.
Ada hal positif jika pemakaian sepatu produk lokal menjadi kebiasaan. Tetapi tentu saja para perajin sepatu juga harus tahu diri, produk mereka harus memiliki daya saing, alias jangan asal-asalan, shingga membeli produk lokal bukan karena keterpaksaan.
Sepatu Cibaduyut namanya sudah lumayan terkenal, sepatu Tasikmalaya juga sering disebut-sebut. Sepatu 'made in' Panawangan? Bisa jadi sebagian orang ada yang mengernyitkan kening mendengarnya. Memang selama ini masyarakat luas mengenal Panawangan sebatas zaman keemasan cengkeh, opak, serta kupat atau cerita heroik penyelamatan Panji Siliwangi yang menjadi bagian dari sejarah "Long March" Siliwangi nan legendaris.
Meski belum dapat dibandingkan dengan daerah lain dari sisi volume produksi dan jumlah perajin, namun bagi PNS di Ciamis utara, khususnya Panawangan, Kawali, Lumbung dan sekitarnya banyak yang memanfaatkan sepatu produk lokal tersebut.
Adalah Indra, warga Desa Indragiri yang merintis usaha ini. Dengan dibantu oleh ayahnya sendiri sebagai 'sales' waktu itu, sepatu dengan merek namanya sendiri dipasarkan dari pintu ke pintu yang umumnya ke perkantoran milik pemerintah. Ditengah kelesuan produksi sepatu yang disebabkan mahalnya bahan baku, modal terbatas serta pemasaran yang tersisihkan produk luar, sepatu "Indra" terus bertahan dengan manajemen seadanya.
Sesungguhnya sepatu 'made in' Panawangan diminati masyarakat sekitarnya karena harganya yang ekonomis telah digunakan jauh sebelum ide pemakaian produk dalam negeri didengungkan.
Mewajibkan pemakaian produk lokal meski kedengarannya agak mustahil, menuntut kesadaran konsumen untuk mencintai produk lokal, dan produsen berkreasi untuk meningkatkan daya saing agar 'gap' yang ada dengan produk luar tidak terlalu 'lebar'.
Perlunya perhatian dan dorongan dari semua elemen lokal bagi pembuat sepatu lokal dapat berupa bantuan permodalan, pelatihan manajemen usaha dan sambutan konsumen itu sendiri akan menjadikan sepatu buatan lokal menjadi produk pilihan.
Dorongan perbankan secara nyata berupa pinjaman modal dengan jaminan yang berupa alat produksi akan memperkuat struktur permodalan. Jika selama ini perbankan lebih menyukai kredit konsuktif bagi nasabahnya karena rendah resiko, maka kini saatnya untuk memperhatikan kredit produktif yang akan dapat menggerakan sektor riil.
Tanpa dorongan yang cukup dari pihak perbankan, industri lokal atau home industry tetap akan kesulitan untuk berkembang, dan akhirnya hanya bisa berjalan di tempat, atau secara perlahan mati digilas produk luar atau produk lisensi atau pemodal besar.
Moga sepatu 'made in' Panawangan masih ada dan bertahan.
Posting Komentar