Beras, bahan makanan pokok sebagian besar penduduk Indonesia memiliki nilai strategis dan nilai politis. Ketersediaannya dalam stock yang 'aman' seakan menjadi legitimasi kepemimpinan di negara ini.Komoditas yang menjadi andalan petani di beberapa wilayah Indonesia ini harganya sering "dipermainkan" bukan hanya oleh mekanisme pasar, tapi juga situasi "politik". Maka padi bukan hanya komoditas pertanian, melainkan juga komoditas politik.
Musim kemarau yang berkepanjangan atau banjir yang merendam sawah-sawah seringkali menjadi penyebab kegagalan panen dan menjadi pemicu naiknya harga beras.
Ketika ada rencana impor, maka yang muncul di permukaan adalah pelaksana impor ambil untung, petani padi dirugikan, sementara masyarakat yang mengkonsumsi nasi harus menghadapi mahalnya harga beras di pasaran. Dalam situasi seperti ini beras sering dibawa ke wilayah politik.
Benar, petani yang mengalami surplus panen di satu wilayah harus dilindungi agar hasil panennya mendapat harga yang layak, Badan yang berkompeten menampung hasil komoditas ini harus dapat menyerap hasil panen petani, di sisi lain mekanisme pasar akan berjalan dengan sendirinya. Mekanisme impor sebagai salah satu upaya menjaga ketersediaan beras dan menjaga kestabilan harga jangan dipandang sebagai penyebab meruginya petani, sebab sebagian besar mesyarakat yang mengkonsumsi nasi tidak memiliki lahan padi, artinya kebutuhannya juga harus dipenuhi.
Jadi, biarkanlah beras sebagai komoditas pertanian, dan jangan dibawa-bawa ke wilayah politik, apalagi menjadikannya sebagai komoditas politik.
Posting Komentar